Gema Ramadhan sudah mulai
terdengar saat bulan hijriyah memasuki bulan Rajab. Lewat doa Allahuma baarik lanaa fii rajab wa sya'ban
wa ballighnaa Ramadhaan... orang-orang meminta kepada Allah agar
disampaikan usianya sampai kepada Bulan Ramadhan. Siapa yang tidak mau berjumpa
dengan Ramadhan? Bulan yang didalamnya dijanjikan begitu banyak kebaikan yang
dilipatgandakan.
Orang-orang bersiap, dengan
caranya masing-masing. Sebagian menyiapkan diri dengan cara meningkatkan amal
ibadahnya agar kelak sudah terbiasa ketika Ramadhan tiba. Membiasakan tilawah
dengan jumlah halaman yang lebih banyak dari biasanya, membiasakan merutinkan
shalat rawatibnya, membiasakan mendisiplinkan shalat malamnya, membiasakan
memperbanyak sedekahnya dan puasa sunnahnya, dan segala upaya membiasakan agar
kelak ketika ramadhan tiba semua yang dibiasakan itu menjadi otomatis
terlaksana.
Sebagian lagi juga bersiap.
Menyiapkan rencana-rencana sinetron-sinetron dan segala macam hiburan yang akan
ditayangkan ketika Ramadhan. Menyiapkan pakaian apa yang akan ikenakan ketika
Ramadhan. Pembawa acara di televisi kemudian punya konsep busana baru edisi
spesial ramadhan. Pun dengan banyak orang lainnya yang sering muncul di
televisi. Ramadhan memang begitu besar pengaruhnya.
Semua persiapan itu pilihan. Dan
tidak mempersiapkan juga pilihan. Karena kesuksesan Ramadhan bergantung pada
persiapannya. Maka jangan ditanya mengapa jumlah khatam kita masih sangat
sedikit ketika Ramadhan—atau jangan jangan malah tidak sampai satu kali pun.
Tengok lagi persiapan kita. Sudah terbiasakah diri kita sebelum Ramadhan untuk
memperoleh pertambahan capaian yang signifikan sehingga Kita kemudian menjadi
terbiasa? Sementara Imam Syafi’i bisa mencapai 60x khatam Quran ketika Ramadhan
diluar shalatnya.[1]
Maka mengapa Ramadhan selalu
menggunakan kata Marhaban, bukan ahlan wa sahlan sebagai kata penyambutnya. Faktanya, para
ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan
Ramadhan, melainkan marhaban. Ternyata, ahlan terambil dari kata ahl yang berarti
"keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti
mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak
seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat
datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di
tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."
Sementara marhaban diambil dari
kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga
marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang,
penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan
apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan
"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan
pengendara guna melanjutkan perjalanan."
Marhaban ya Ramadhan berarti
"Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya
dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap
kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita
mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan
menuju Allah SWT[2]
Begitulah, maka kenapa disebut
Ramadhan, karena peluang pahala yang luas dan tantangannya tentu tidak sahl
atau mudah. Maka menyadarinya seharusnya menambah kesadaran kita untuk
mempersiapkannya. Marhaban yaa Ramadhan, berkaca, kemudian bertanya pada diri
sendiri, sudah siapkah saya menemuinya?
0 komentar:
Posting Komentar